Hidup ini penuh dengan tekanan atau stressor. Tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan yang ada. Banyak orang yang mampu menghadapi berbagai situasi tanpa rasa tertekan. Namun menghadapi tekanan merupakan tantangan untuk dapat melewatinya. Ada diantara kita yang setiap bertemu pada suatu kondisi tertentu, langsung merasakan kejenuhan, rasa tertekan, atau bahkan ada yang berujung pada keputusasaan dan nekat mengakhiri hidupnya (bunuh diri). Setiap peristiwa tentu memiliki dampak psikologis yang berbeda pada setiap orang. Karena setiap orang memiliki ambang stress yang tentu berbeda. Semakin besar ambang stress yang dimiliki seseorang, maka akan semakin kuat pula orang tersebut dalam menghadapai dan menjalani berbagai situasi yang ada dalam hidupnya. Pendidikan, perhatian lingkungan terdekat, keimanan, serta pengetahuan dan pengalaman yang didapat seseorang merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besar atau kecilnya seseorang dalam mengatur ambang s
Kejahatan narkoba setiap tahun mengalami peningkatan. Data BNN (lihat grafik)
menunjukkan kejahatan narkoba terus meningkat tiap tahun. Pada akhir 2010,
Wakadiv Humas Polri saat itu, Brigjen Untung menyatakan kasus narkoba naik
65% dibanding tahun 2009 yang berjumlah 9661 kasus. (Tempointeraktif.com,
28/12/10). Kasus narkoba jenis sabu-sabu meningkat signifikan dari 9.661 kasus
di 2009 menjadi 16.948 kasus di 2010 atau meningkat . 75,4 %. Sementara untuk
jenis heroin, barang bukti yang berhasil disita meningkat dari 11,024 kg di
tahun 2009, menjadi 23,773 kg di 2010. Artinya meningkat 115%.
Sepanjang
tahun 2010, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri berhasil menyita
18 ton daun ganja, 23 kg heroin, 281 kg sabu-sabu dan 369 ribu tablet ekstasi
dengan nilai Rp 892 miliar.
Kejahatan
narkoba menjadi ancaman besar bagi masyarakat dan generasi. Hal itu mengingat
sangat banyaknya orang yang terlibat. Di tahun 2006 menurut Kalakhar BNN kala
itu, Brigjen Pol dr Eddy Saparwoko, jumlah pengguna narkoba di Indonesia
diperkirakan mencapai 3,2 juta orang, terdiri atas 69% kelompok teratur pakai,
dan 31% merupakan kelompok pecandu dimana laki-laki 79% dan perempuan 21%
(Kapanlagi.com, 28/3/2006).
Data
sementara BNN hasil penelitian BNN dan Universitas Indonesia pada tahun 2008
menunjukkan total penyalahguna narkoba ada 1,99 persen penduduk Indonesia atau
sekitar 3,6 juta jiwa (jurnas.com, 26/1/11). Berdasarkan data hasil Survei
BNN terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekitar 4,7
persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air adalah sebagai pengguna
barang haram tersebut. (Suaramerdeka.com, 19/2/11)
Kasus narkoba
terjadi di berbagai kalangan. Bukan saja di kalangan selebritis, tapi juga
pejabat dan wakil rakyat. Tahun 2010 lalu, tes urine terhadap sejumlah pejabat
daerah eselon I - III yang dilakukan pemprop Sumsel bekerja sama dengan Badan
Narkotik Propinsi menemukan 15 orang diduga pengguna narkoba (news.okezone.com,3/3/2010).
Komite
Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa
Tengah mencatat selama 2010 hingga awal Februari 2011, enam anggota DPRD
se-Jateng terlibat kasus penyalahgunaan narkoba (tvonenews.tv, 07/02).
Jika
diperhatikan, makin akutnya kejahatan narkoba, disebabkan penanganan yang salah
dan penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek
jera. Ambil contoh adalah adanya wacana bahwa pemakai narkoba tidak akan
dikriminalkan. Ibu Negara Ani Yudhoyono pada tahun lalu menyatakan bahwa
seharusnya para pemakai narkoba ditempatkan di panti rehabilitasi bukan
penjara. Ia tidak setuju dengan keputusan Kapolri saat itu yang justru akan
menyeret pengedar dan pemakai narkoba (kompas.com, 30/01/2010).
Pendapat
serupa juga datang dari Ketua BNN Gories Mere. Hal ini, katanya, sesuai dengan
UU N0 35 tahun 2009 tentang narkotika yang memandang pecandu narkotika bukan
sebagai pelaku kriminal tapi penderita yang harus direhabilitasi (waspada.co.id,
27/06/2010).
Hal itu jelas
sangat rancu. Di satu sisi penyalahgunaan narkoba dipandang sebagai
kriminalitas, tapi di sisi lain seorang pengguna - yang jelas-jelas
menyalahgunakan narkoba - justru dianggap bukan pelaku kriminal. Hanya produsen
dan pengedar yang dikriminalkan.
Padahal,
bukankah tidak akan ada penawaran jika tidak ada permintaan? Bukankah pengguna
narkoba mengkonsumsinya atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan? Lalu di
sisi mana mereka bisa dianggap sebagai korban?
Wacana itu
justru bisa meningkatkan jumlah pengguna narkoba. Sebab mereka tidak akan takut
karena tidak akan dikriminalkan. Apalagi penegakan hukum dalam masalah narkoba
ini sangat buruk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para narapidana narkoba
masih bisa terus menjalankan bisnis narkobanya dari dalam penjara. Terungkapnya
sindikat narkoba internasional yang beroperasi di LP Nusa Kambangan dengan
omset miliaran rupiah jelas menegaskan hal itu. Seorang kurir narkoba di
Ekuador, Amerika Latin, mendapatkan order narkoba dari Nusakambangan. Padahal,
di sana diberlakukan keamanan tingkat tinggi (vivanews.com, 9/3).
Hukuman yang
dijatuhkan dalam kasus narkoba yang tidak memberikan efek jera makin
memperparah masalah. Sejumlah terpidana narkoba justru menikmati perlakukan
istimewa di dalam rutan. Sebagian lagi mendapatkan keringanan hukuman.
Maka, jangan heran jika keinginan menjadikan Indonesia bebas narkoba,
bak jauh panggang dari api. Karena apa yang dilakukan seperti menegakkan benang
basah.
Kapitalisme Biangnya
Pesatnya
kejahatan narkoba sebenarnya buah dari sistem sekulerisme-kapitalisme yang
dengan standar manfaatnya melahirkan gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang
memuja kenikmatan jasmani. Doktrin liberalismenya mengajarkan, setiap orang
harus diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggi-tingginya. Akibatnya,
tempat-tempat hiburan malam yang sering erat dengan peredaran narkoba makin
marak dan tidak bisa dilarang. Dan dengan dibingkai oleh akidah sekulerisme
yang meminggirkan agama, maka sempurnalah kerusakan itu. Tatanan kemuliaan
hidup masyarakat pun makin terancam. Maka jelaslah bahwa akar masalah narkoba
itu adalah pandangan hidup sekulerisme kapitalisme.
Solusi Islam
Memberantas
narkoba harus dilakukan dengan membongkar landasan hidup masyarakat yang rusak
dan menggantikannya dengan yang benar; yang sesuai fitrah manusia, memuaskan
akal dan menentramkan hati, yaitu akidah Islam.
Dari sisi
akidah, islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat
ganjaran yang baik pula di akhirat. Dan sebaliknya setiap perbuatan
dosa, termasuk penyalahgunaan narkoba, akan dijatuhi siksa yang pedih di
akhirat, meskipun pelakunya bisa meloloskan diri dari sanksi di dunia.
Rasulullah
saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah harus memenuhi janji bagi siapa
saja yang meminum minuman yang memabukkan untuk memberinya minum thînatal
khabâl”. Mereka bertanya, “ya Rasulullah apakah thînatal khabâl itu?”,
Rasulullah saw bersabda: “keringat penduduk neraka atau ampas (sisa perasan)
penduduk neraka” (HR
Muslim no 2003, dari Ibnu Umar)
Islam
mewajibkan negara untuk senantiasa memupuk keimanan rakyatnya. Maka jika sistem
islam diterapkan hanya orang yang pengaruh imannya lemah atau terpedaya oleh
setan yang akan melakukan dosa atau kriminal. Jika pun demikian, maka peluang
untuk itu dipersempit atau bahkan ditutup oleh syariah islam melalui penerapan
sistem pidana dan sanksi dimana sanksi hukum bisa membuat jera dan mencegah
dilakukannya kejahatan.
Hal itu
sebab, narkoba jelas hukumnya haram. Ummu Salamah menuturkan:
Rasulullah
saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat
penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn
Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja
(lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).
Mengkonsumsi
narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan
kriminal. Disamping diobati/direhabilitasi, pelakunya juga harus dikenai
sanksi, yaitu sanksi ta’zir, dimana hukumannya dari sisi jenis dan
kadarnya diserahkan kepada ijtihad qadhi. Sanksinya bisa dalam bentuk ekspos,
penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati tentunya dengan
melihat sejauhmana tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Pelaksanaan
hukuman itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu
terjadinya kejahatan dan pelaksanaannya diketahui atau bahkan disaksikan oleh
masyarakat seperti dalam had zina (lihat QS an-Nur[24]: 2). Sehingga masyarakat
paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan itu dan merasa ngeri. Dengan begitu
setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan yang serupa.
Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan narkoba akan bisa diselesaikan tuntas
melalui penerapan syariah Islam.
Wahai Kaum Muslim
Tampak jelas
sekali bahwa sistem sekulerisme kapitalisme saat ini gagal total memberantas
narkoba. Akibatnya masyarakat terus menerus terancam. Juga tampak jelas sekali
bahwa tidak ada jalan lain memberantas narkoba kecuali dengan menegakkan
syariat Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah. Maka apa lagi yang ditunggu,
wahai kaum muslim? Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber
: Buletin al-Islam
Comments
Post a Comment