Mereka (ahlul ‘amaan) itulah yang disebut Ahl al-Ahd,
Ahl as-Shulh dan Ahl ad-Dzimmah. Adapun Musta'min adalah orang Kafir yang
datang ke negeri kaum Muslim bukan untuk menetap di sana. Mereka bisa dipilah
menjadi empat: 1) Duta; 2) pedagang; 3) orang yang meminta
perlindungan hingga bisa mendengarkan Islam dan al-Qur'an, jika mau mereka bisa
masuk Islam dan jika tidak bersedia mereka bisa pulang ke negeri mereka; dan
4) orang yang mencari kebutuhan dengan berkunjung maupun yang lain.
Hukum bagi mereka adalah, mereka tidak boleh diusir, dibunuh atau pun diambil
jizyah-nya. Kepada orang yang mencari perlindungan tersebut boleh disampaikan
Islam dan al-Qur'an; jika dia masuk Islam, maka itu haknya, namun jika dia
lebih suka kembali ke tempat asalnya, maka bisa dikembalikan ke sana. Dia tidak
boleh diapa-apakan sebelum sampai ke sana. Jika dia sudah sampai di tempat
asalnya, maka kembali lagi menjadi Kafir Harbi (musuh), seperti sedia kala.(Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, juz II, hal. 873).
Antara Ibn al-Qayyim dan Imam Syafi:
Hukum yang berlaku untuk Kafir Musta’min di
atas, bagi Ibn al-Qayyim,
dikecualikan dari hukum umum yang berlaku untuk Ahl al-Harb.
Karena Musta’min adalah orang Kafir yang
mendapatkan al-aman/visa, dan mereka dianggap sebagai bagian dari Ahl
al-Ahdi, bukan Ahl al-Harb. Hal tersebut sama dengan pendapat Imam as-Syafi’i.
Ahl al-Harb mereka dilarang datang ke negeri kaum
Muslim untuk berdagang, apapun alasannya. Ahl al-Harb tidak boleh
dibiarkan masuk negeri kaum Muslim sebagai pedagang. Jika mereka masuk tanpa
jaminan keamanan (al-aman) dan risalah (duta pembawa pesan), maka mereka bisa
dirampas (hartanya). Jika mereka masuk dengan al-aman, dengan syarat membayar
1/10 lebih atau kurang dari harta mereka, maka boleh diambil. Jika masuk tanpa
al-aman dan syarat, mereka harus dikembalikan ke negeri mereka. Dan tidak boleh
dibiarkan melenggang di negeri kaum Muslim. (as-Syafi’i, al-Umm, juz
IV, hal. 244)
Alasan Diberikannya Jaminan al-Aman:
- Sebagai utusan/ duta/ konsul untuk menyampaikan risalah kepada kepala negara Islam;
- Bisnis atau berdagang;
- Mencari kebutuhan, seperti kunjungan sanak kerabat, dll.
- Mempelajari Islam dan al-Qur’an (Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, juz II, hal. 873).
Adapun syarat yang harus dipenuhi, Para
fuqaha’ mensyaratkan, bahwa al-Aman tersebut bisa diberikan dengan
syarat, tidak menimbulkan mudarat (bagi kepentingan Islam dan kaum Muslim).
Imam (pemimpin negara) dan (pejabat negara) yang lainnya harus terikat dalam
memberikan rekomendasi jaminan (al-aman) tersebut, jika tidak menyebabkan
mudarat. (Qawanin al-Ahkam as-Syar’iyyah, hal. 173).
Jadi, meskipun individu/ rakyat boleh memberikan
jaminan al-aman, tetapi jaminan tersebut tetap harus diatur oleh negara,
agar tidak bertabrakan dengan kepentingan Islam dan kaum Muslim. Jika ternyata
ada mudarat, maka negara (Khalifah) berhak membatalkan jaminan al-aman,
dan mengembalikan penerimanya sebagai Ahl al-Harb. (Disarikan dari: Imam
as-Sarakhsi, Syarah as-Siyar al-Kabir, juz II, hal. 580).
Baca juga : Darul Islam dan Darul Kufur, Keduanya Istilah Syar'i
Hubungan Dengan Negara Kafir Penjajah (Daulah
Muharibah Fi’lan
Jumhur fuqaha’ menyatakan, hukum asal
hubungan Negara Islam dengan Negara Kafir
–baik fi’lan maupun hukman– adalah hubungan perang. Hubungan
damai antara Negara Islam dengan Negara Kafir hanya bisa terjadi karena:
perdamaian, Negara Kafir menjadi Islam, atau tunduk kepada Negara Islam.
(Ibn Qudamah, al-Mughni, juz X, hal. 387).
Salam Damai
Comments
Post a Comment