Hidup ini penuh dengan tekanan atau stressor. Tidak semua yang kita inginkan sesuai dengan kenyataan yang ada. Banyak orang yang mampu menghadapi berbagai situasi tanpa rasa tertekan. Namun menghadapi tekanan merupakan tantangan untuk dapat melewatinya. Ada diantara kita yang setiap bertemu pada suatu kondisi tertentu, langsung merasakan kejenuhan, rasa tertekan, atau bahkan ada yang berujung pada keputusasaan dan nekat mengakhiri hidupnya (bunuh diri). Setiap peristiwa tentu memiliki dampak psikologis yang berbeda pada setiap orang. Karena setiap orang memiliki ambang stress yang tentu berbeda. Semakin besar ambang stress yang dimiliki seseorang, maka akan semakin kuat pula orang tersebut dalam menghadapai dan menjalani berbagai situasi yang ada dalam hidupnya. Pendidikan, perhatian lingkungan terdekat, keimanan, serta pengetahuan dan pengalaman yang didapat seseorang merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besar atau kecilnya seseorang dalam mengatur ambang s
Dr. Muhammad
Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya frasa dar al-islam adalah istilah syar’i
yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frasa dar
al-kufr juga merupakan istilah syar’i yang digunakan untuk menunjukkan realitas
tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan darul islam. Begitu pula
istilah dar ul kufr, dar as syirk, dan dar al harb;
semuanya adalah istilah yang maknanya sama (Muhammad Khair Haekal, Al Jihad
wa al Qital, 1/660; imam asy Syafii, al Umm, IV/270-271) untuk
menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan
fakta pertama (darul islam).
Istilah dar al-islam
dan dar al-kufr telah dituturkan di dalam sunnah dan atsar para
sahabat. Imam al Mawardi menuturkan
sebuah riwayat dari nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda,
“Semua hal yang
ada di darul islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang
ada di dalam dar as syirk telah dihalalkan.” (imam al Mawardi, al Ahkam
as Sulthaniyyah, 60)
Maksudnya, semua
orang yang hidup di dalam darul islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta
penduduk darul islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh
ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk darul kufur,
maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang
mewajibkan kaum muslim melindungi harta dan darahnya. (al Jihad wa al Qital,
1/661)
Sebuah surat yang ditulis oleh Khalid
bin Walid ra kepada penduduk al Hijrah, di dalamnya tertulis :
“Aku telah
menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah),
yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang cacat, atau orang yang
dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh
penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan
mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum muslim, selama mereka
masih bermukim di darul Hijrah dan darul Islam. Jika mereka berpindah ke negeri
lain yang bukan darul Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum muslim untuk mencukupi
nafkah mereka.” (Abu Yusuf, al Kharaj, 155-156)
Baca juga : Hukum Islam Menerima Penguasa Negara Penjajah
Ibn Hazm
mengatakan, “Semua tempat
selain negeri rasulullah saw., adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dar
al harb, serta tempat untuk berjihad.” (al Muhalla, VII/305 [969])
Berdasarkan riwayat
di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dar al islam adalah istilah syar’i
yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab di
sana ada
perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara darul islam
dan darul kufur.
Imam al Kasai,
di dalam kitabnya mengatakan : “Tidak ada
perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa darul kufur (negeri kufur) bisa
berubah menjadi darul islam dengan tampaknya hukum-hukum islam di sana . Mereka berbeda
pendapat mengenai dar al islam, kapan ia bisa berubah menjadi dar al
kufur? Abu Hanifah berpendapat, ‘darul islam tidak akan berubah menjadi
darul kufur kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama: telah tampak
jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di dalamnya. Kedua: meminta
perlindungan kepada darul kufur. Ketiga: kaum muslim dan dzimmi tidak
lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama
kali, yakni jaminan keamanan dari kaum muslim’. Abu Yusuf dan Muhammad
berpendapat, ‘darul islam berubah
menjadi darul kufur jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur’.” (Badai’
al Shanai’, VII/30)
Di dalam hasyiyah
(catatan pinggir) III/390, ibnu ‘Abidin atas kitab ad Durr al Mukhtar Syarh
Tanwir al Abshar disebutkan :
“Darul islam
tidak akan berubah menjadi dar al harb… (karena) misalnya, orang kafir
berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka
berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu
mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapat perlindungan dari Daulah
Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut
tidak menjadikan darul islam berubah menjadi dar al harb jika telah
memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, cukup dengan
satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini
adalah qiyas.”
Syaikh Muhammad
abu Zahrah berkomentar, “Barangkali buah
perbedaan diantara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang
ini. Karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan, maka negeri-negeri
mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori darul islam.
Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum islam, mereka hidup
dalam perlindungan kaum muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk darul
islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan
dengan keduanya diterapkan, maka negeri-negeri islam sekarang ini tidak
terhitung sebagai darul islam, tetapi dar al harb. Sebab, di
negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum islam.” (al
Jarimah wa al ‘Uqubah fi Fiqh al Islami, hlm 343)
Di dalam kamus
fikih Syaikh Sa’di abu Habib menjelaskan tentang dar al islam dan dar
al harb sebagai berikut :
“Menurut
pengikut mazhab Syafii, dar al harb adalah negeri-negeri kaum
kafir (bilad al kuffar) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum
muslim. Adapun darul islam menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap
negeri yang dibangun oleh kaum muslim, seperti Baghdad
dan Bashrah; atau penduduknya masuk islam, seperti Madinah atau Yaman; atau
negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau
ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang
hidup di dalamnya membayar jizyah.” Adapun menurut pengikut imam Ahmad
bin Hanbal, “Darul islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum muslim,
seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslim, seperti kota Yaman.” (lihat al
Qamus al Fiqhi, hlm 470-471)
Abdul Qadir Audah
menyatakan, “Darul islam
adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya menerapkan hukum-hukum islam, atau
penduduknya yang muslim mampu menampakkan hukum-hukum di negeri itu. Termasuk
darul islam setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama islam, atau
mayoritasnya beragama islam. Juga termasuk darul islam setiap negeri yang
dikuasai dan diperintah oleh kaum muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan
kaum muslim. Termasuk darul islam juga setiap negeri yang dikuasai dan
diperintah oleh non-muslim, namun penduduknya yang muslim masih tetap bisa
menampakkan hukum-hukum islam, atau tidak ada satu pun halangan yang merintangi
mereka untuk menampakkan hukum-hukum islam.” (at Tasyri’ al Jana’i al Islami,
1/421)
Di dalam kitab as
Siyasah asy Syar’iyyah, Syaikh ‘Abd al Wahab Khalaf menuturkan, “Darul islam
adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum islam dan keamanan
negeri itu di bawah keamanan kaum muslim, sama saja, apakah penduduknya muslim
atau dzimmi. Adapun dar al har adalah negeri yang tidak
diberlakukan di dalamnya hukum-hukum islam dan keamanan negeri itu tidak
dijamin oleh kaum muslim.” (hlm 69)
Syaikh Taqqiyuddin
an Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab as Siyasah asy Syariyyah
karya Syaikh ‘Abd al Wahab Khalaf sebagai berikut : “Penetapan suatu
negeri termasuk darul islam atau darul kufur harus memperhatikan dua perkara.
Pertama: hukum yang diberlakukan di dalam negeri itu adalah hukum islam. Kedua:
keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum muslim, yakni kekuasaannya. Jika
suatu negeri memenuhi dua perkara ini, maka ia disebut darul islam dan negeri
itu telah berubah dari darul kufur menjadi darul islam. Akan tetapi, jika salah
satu unsur itu lenyap, maka negeri itu menjadi darul kufur. Negeri islam yang
tidak menerapkan hukum-hukum islam adalah darul kufur. Begitu pula sebaliknya,
jika negeri islam menerapkan hukum-hukum islam, namun keamanannya tidak dijamin
oleh kaum muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka
negeri itu termasuk darul kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum muslim
sekarang ini termasuk darul kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak
menerapkan hukum islam. Suatu negeri juga tetap disebut darul kufur seandainya
di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum islam atas kaum muslim, namun
kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, keamanan
negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul
kufur.” (asy Syakhshiyyah al Islamiyyah, II/215-216)
Pendapat yang
paling rajih, menurut Dr. muhammad khair haekal, adalah pendapat yang
menyatakan bahwa darul islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya
adalah sistem pemerintahan islam (diatur dengan hukum islam) dan pada saat yang
sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di
bawah kendali kaum muslim. (al Jihad wa al Qital, I/669)
Wallahu’alam
Dikutip
dari tulisan Fathiy Syamsuddin Ramadhan an Nawiy, Negara Islam vs Negara Kafir (al
Wa’ie no. 113 th. X, 1-31 januari 2010)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
ReplyDelete